Sabtu, 23 Juli 2011

RAMADHAN PERINGATAN BAGI PERSATUAN UMAT Oleh : Syaikh Muhammad Nashiruddin Al – Albani

"Puasa adalah hari dimana kalian berpuasa, Al-
Fithr adalah hari dimana kalian berbuka, sedang
Al-Adha adalah hari dimana kalian menyembelih
kurban."
At-Tirmidzi menilai "Hadits ini gharib hasan."
Al-Hafizh juga pernah meriwayatkan hadits
Aisyah secara mauquf. Hadits itu ditakhrij oleh Al
-Baihaqi melalui jalur Abu Hanifah yang memberitakan:
"Telah meriwayatkan kepadaku Ali bin
Al-Aqmar dari Masruq yang menceritakan:
"Saya hadir di hadapan Aisyah  pada hari
Arafah. la berkata: "Berilah minum sawiq (sejenis
minuman sari buah) kepada Masruq. Dan perbanyaklah
manisannya." Masruq melanjutkan: "Saya
lalu berkata: Sesungguhnya tidak ada yang
menghalangi berpuasa. kecuali kekhawatiranku
bahwa hari ini adalah hari Nahar, Aisyah menjawab:
"Hari Nahar adalah hari dimana manusia
menyembelih hewan kurban. Sedang Al-Fithr
adalah hari dimana mereka berbuka."
Saya berpendapat: Sanad ini jayyid (bagus)
dengan dukungan sanad sebelumnya.
Kandungan Hukumnya.
Imam Tirmidzi mengomentari hadits tersebut:
"Beberapa ulama menafsirkan hadits tersebut
dengan menjeiaskan: "Arti hadits itu adalah puasa
dan berbuka (tidak puasa) bersama jamaah dan
mayoritas manusia." Sementara Ash-Shan'ani di
dalam Subulus-Salam menegaskan: "Hadits itu
menunjukkan bahwa dalam menetapkan hari raya
adalah berdasarkan kesepakatan mayoritas. Orang
yang mengetahui hari raya secara individu. harus
menyesuaikan dengan yang lain. Demikian pula
dalam masalah shalat. berbuka. dan berkorban."
Ibnul-Qayyim menyebutkan pendapat yang
senada di dalam Tahdzibus-Sun an (3/214):
Dikatakan: "Hadits itu mengandung sanggahan
terhadap orang yang berpendapat bahwa seseorang
yang mengetahui terbitnya bulan berdasarkan
perhitungan (hisab) bukan ru'yah boleh
puasa dan boleh tidak. dimana hal ini tidak berlaku
bagi orang yang tidak mengetahuinya. Ada
pula yang mengatakan: Jika satu orang menyaksikan
hilal, sedang hakim belum menetapkannya,
maka tidak boleh berpuasa, seperti kebanyakan
orang."
Abul-Hasan As-Sanadi di dalam kitabnya Hasyiyah
ala Ibni Majah setelah menyebutkan hadits
Abu Hurairah tersebut dari At-Tirmidzi menandaskan:
"Yang jelas makna hadits itu adalah bahwa
perseorangan tidak memiliki pengaruh sedikitpun.
Mereka secara individual juga tidak diperbolehkan
memegang pendapatnya sendiri. Masalah
itu harus diserahkan kepada imam dan jamaah.
Dengan demikian, jika ada seseorang melihat
hilal, namun ditolak (tidak diakui) oleh imam,
maka pendapatnya tidak bisa dipakai. Bahkan ia
sendiri harus mengikuti imam dan jamaah.
Saya berpendapat: Makna inilah yang mudah dipahami
dari hadits di atas. Hal ini diperkuat dengan
hujjah Aisyah  terhadap Masruq yang tidak
mau berpuasa Arafah karena khawatir hari itu hari
Nahar. Aisyah menjelaskan bahwa pendapat pribadi
Masruq tidak bisa dipakai. Mau tidak mau
Masruq harus mengikuti mayoritas. Aisyah menjelaskan:
Nahar adalah hari. dimana manusia menyembelih
kurban. Sedang Al-Fithr adalah hari dimana
mereka harus berbuka."
Saya berpendapat: Inilah yang sepantasnya dipakai
dalam syari'at yang ramah ini, dengan maksud
untuk mempersatukan umat serta merapatkan
barisan mereka. Islam tidak menghendaki umat
bercerai berai hanya karena pendapat minoritas
orang. Karena itu syari'at tidak akan memperhitungkan
pendapat individual, mengenai ibadah-
Oleh: Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani v
ibadah yang dilakukan bersama-sama, meskipun
mencapai kebenaran. Seperti puasa, hari raya. shalat
berjamaah, dan Iain-lain. Anda bisa menyaksikan
bagaimana para sahabat bersedia shalat di belakang
sebagian sahabat yang lain. Di antara
mereka ada yang berpendapat menyentuh wanita,
keluarnya darah termasuk yang membatalkan
wudhu". ada pula yang tidak berpendapat
demikian. Ada yang me-nyempumakan shalat di
perjalanan, ada pula yang mengqasharnya. Namun
perbedaan-perbedaan itu tidak menghalangi
mereka untuk bersatu padu. shalat di belakang satu
imam serta menerimanya. Hal ini dikarenakan
mereka mengetahui bahwa berpecah-belah lebih
buruk dibanding berbeda pendapat. Ada seorang
ulama terkemuka di Mina yang praktis pendapat
pribadinya tidak dipakai. demi menghindarkan
dampak negatif yang muncul.
Abu Dawud (1/307) meriwayatkan. bahwa
Utsman _ melakukan shalat di Mina. Sebanyak
empat raka'at. Kemudian Abdullah bin Mas'ud
z memprotesnya tidak setuju: "Saya shalat bersama
Nabi s dua raka'at. Tapi bersama Utsman
pada awal kekhalifahannya empat raka'at. Sebab
itulah barangkali pendapat kalian menjadi berbeda
-beda. Tapi saya lebih senang jika empat raka'at
itu dijadikan dua raka'at. Namun kemudian Ibnu
Mas'ud melakukan shalat empat raka'at. sehingga
dikatakan kepadanya: "Engkau tidak menyetujui
Utsman. tetapi engkau sendiri melakukan shalat
empat raka'at." Mendengar itu Abdullah bin
Mas'ud menjawab: "Perbedaan pendapat ada-lah
buruk." Sanad ini shahih. Imam Ahmad (5/155)
juga meriwayatkan hadits yang senada dengan
ini, dari Abu Dzar _.
Maka hendaklah mereka yang selalu berpecah
belah dalam shalat merenungkan lebih dalam
lagi hadits dan atsar di atas. Juga mereka yang
tidak bersedia mengikuti imam masjid. lebihlebih
dalam masalah shalat witir pada bulan
Ramadhan hanya karena menilainya tidak mengikuti
madzhab yang dianut mereka. Ada pula
orang yang karena tahu sedikit tentang ilmu falak
kemudian melakukan puasa atau berbuka dengan
waktu yang ditetapkannya sendiri, dan berbeda
dengan yang dilakukan oleh mayoritas. la memakai
pendapat pribadinya, tanpa mempertimbangkan
pendapat mayoritas. Bahkan dengan tegas menyatakan
tidak sama dengan mayoritas. Hendaknya
mereka yang demikian itu merenungkan apa yang
telah saya sebutkan, sehingga dapat mengobati kebodohan
yang sebenaraya ada pada diri mereka
sendiri. Supaya barisan umat Islam benar-benar
rapat. Sebab ridha Allah ada di dalam jamaah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar